Rekan profesi dan konsumen sebaiknya tidak perlu kuatir, berhubung di balik flu burung tersebut terdapat pelajaran berharga, pasalnya dari semua pengamatan saya belum pernah satupun petugas kandang pangkalan, penjaja, dan konsumen yang terpapar flu burung. Tentunya jika ada produsen yang terkena flu burung logikanya mereka tidak akan memberikan unggas kepada distributor mengingat dampak negatif yang akan ditimbulkan kepada produsen tersebut, distributor tidak akan melakukan repeat buying dan tingkat kepercayaan akan turun atas produsen tersebut. Produsen yang lalai jika mendistribusikan unggas yang terpapar flu burung tentunya tidak bisa beralih ke distributor lain begitu saja, mengingat diantara distributor biasanya berlaku informasi sempurna selayaknya pasar persaingan bebas. Lalu bagaimana halnya dengan pangkalan apabila terpapar flu burung, otomatis petugas dipangkalan yang akan terkena paparan langsung dan menuai dampaknya, kenyataannya petugas pangkalan tidak mengalami gangguan flu burung tersebut. Dengan demikian analogi tersebut mudah-mudahan dapat menjawab tingkat keamanan unggas yang kita perjualbelikan dan dikonsumsi oleh setiap keluarga. Selama unggas dipelihara dengan memperhatikan faktor kualitas pakan, pemberian vaksin yang tepat, hyginitas dan sanitasi kandang dan armada distribusi, serta metode pemotongan yang baik dapat dipastikan unggas akan dijamin aman dari bahaya flu burung.
Berikut cuplikan artikel yang saya ambil dari "Mereka yang Hidup Berkarib Unggas (2-Habis) - Tetap Bekerja Tanpa Sarung Tangan"Suara Merdeka, Kamis, 25 Januari 2007. (http://www.suaramerdeka.com/harian/0701/25/nas07.htm)
SM/Rukardi TAK KHAWATIR: Seorang pekerja memasukkan ayam ke dalam mesin bubut. Dia tak khawatir tertular virus flu burung. (57) | |
KETIKA akhir-akhir ini masyarakat dicekam ketakutan akibat flu burung, Juhari (21) seperti tak peduli. Di saat orang menghindari kontak langsung dengan unggas, dia tetap mengakrabi. Imbauan untuk mewaspadai virus mematikan itu, dimasukkan di kuping kanan lalu keluar di kuping kiri.
Bukan semata karena Juhari seorang tukang potong ayam, namun dia tak percaya bahwa flu burung betul-betul ada. Bagi lelaki asal Sukoharjo tersebut flu burung hanyalah isu belaka. Untuk memperkuat tesis itu, Juhari mengunjukkan dirinya sebagai contoh. ''Sudah setahun ini saya bekerja menjadi tukang potong ayam di Pasar Kobong. Selama itu saya tak pernah merasakan sakit. Juga belum pernah ada pedagang atau pengunjung pasar yang tertular atau mati akibat flu burung,'' kata Juhari.Kontak Langsung
Padahal setiap hari dia melakukan kontak langsung dengan ayam. Sebagai pekerja, Juhari bertugas menyembelih, membersihkan bulu, dan mbetheti ayam milik pelanggan.
Selama proses penyembelihan, tubuhnya berkontak langsung dengan ayam-ayam. Darah dan kotoran binatang itu berlumuran di tangan.
Keyakinannya yang kuat atas ketiadaan virus flu burung membuat Juhari tidak merasa khawatir tertular. Oleh karena itu, dalam bekerja dia tak menggunakan perlengkapan pengaman sama sekali. Tidak ada masker, sarung tangan, atau alas kaki.
Bersama lima rekannya, Juhari tinggal di kios pemotongan ayam itu. Usai bekerja dari pagi sampai petang, dia beristirahat di Lantai II yang difungsikan sebagai penginapan. Hal itu berlangsung setiap hari, dari bulan ke bulan.
Supardi (35) rekan Juhari, juga dingin menghadapi santernya pemberitaan flu burung di media massa. Alih-alih khawatir, dia justru merasa geram. Sebab, berita-berita itu membuat masyarakat enggan mengonsumsi daging ayam. Akibatnya, orderan potong dan bubut bulu ayam menurun tajam.
Seperti halnya Juhari, dia tak mengenakan peranti pelindung untuk menangkal virus yang konon mematikan itu. Menyembelih, membubuti bulu, dan mengeruk kotoran, Supardi melakukannya dengan tangan telanjang. ''Apa yang perlu dikhawatirkan? Flu burung? flu burung apa? Di sini ndak ada flu burung. Paling setelah kerja, saya membersihkan tangan dengan air biasa,'' katanya.
Pagebluk
Ketua paguyuban pengusaha ayam potong Pasar Kobong Tri Joko S, menyebut flu burung sebagai isu yang sengaja diembuskan untuk mengalihkan perhatian masyarakat dari peristiwa-peristiwa lain, seperti bencana lumpur Lapindo, serta kecelakaan kapal, kereta dan pesawat terbang. ''Itu dilakukan biar masyarakat lupa, dan perhatiannya teralihkan,''
Soal kematian ayam secara mendadak, bukan sesuatu yang mengkhawatirkan. Dari dulu kasus semacam itu selalu ada. penyebab kematian, imbuh Tri Joko, disebabkan oleh pergantian musim. Perubahan suhu secara drastis membuat ayam yang tidak kuat sakit dan mati. ''Orang dulu menyebut itu sebagai pagebluk. Jangankan ayam, orang saja bisa sakit, baik demam, pilek, atau batuk-batuk,'' tutur pemilik ''Salon Ayam Doa Gus Joko'' itu.
Dia menilai, langkah-langkah yang diambil pemerintah terkait penanggulangan virus flu burung terlampau berlebihan. Seperti Pemprov DKI Jakarta yang melarang warganya memelihara unggas.
''Saya yang setiap hari berkecimpung dengan ayam tidak khawatir dengan flu burung. Yang saya khawatirkan justru dampak pemberitaannya yang membuat pedagang ayam dan unggas mengalami kerugian.'' (Rukardi- -64)
Demikian semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan diisi disini, terimakasih atas kritik-saran Anda.